Pages

Kamis, 07 April 2011

[Renungan Hari Ibu] Pengorbanan Tulus Yang Seringkali Kita Lupakan

"hari ibu, pengorbanan ibu"
Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.
"hari ibu" 
Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love – Kasih.
Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
"pengorbanan ibu" 
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.
"hari ibu" 
Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.
Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.
"kasih ibu" 
Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: “Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!”
“Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!” kata wanita tua itu.
“Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!” ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.
Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya “Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!”
"hari ibu" 
Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja “Mother’s Day” sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.

Sabtu, 12 Maret 2011

BUNDA

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Reff:
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu dtimang
Nada nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat diri ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Back to reff
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan slalu ada di dalam hatiku

Kisah seorang ibu



Hari ini engkau terlahir ke dunia,
anakku. Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan
kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir
dengan selamat setelah melalui jalan divakum. Telah kupersiapkan sebuah
nama untukmu; Qaulan Syadida..Aku sangat terkesan dengan janji Allah
dalam surat Al-Ahzab ayat tujuh puluh, maknanya perkataan yang benar.
Harapanku engkau kelak menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh fauzan’adzima, kemenangan yang besar seperti yang engkau telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran.

Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur…

1981
Tahun
ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun.
Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu.
Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan
gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu.
Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat
keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri
saudarimu yang lain.
1987
Putriku, sungguh aku pantas
bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas Cermat tingkat nasional di
TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh percayar diri
di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku; itu anakku
Qaulan…Meski tidak juara pertama, aku tetap bangga padamu. Namun di
balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran akan
sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak seperti keempat
kakakmu yang kalem dan cenderung memiliki sifat-sifat perempuan, engkau
justru sangat agresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun
padaku dan selalu juara kelas.
Jika hari Ahad tiba, engkau lebih
suka membantuku membersihkan taman, mengecat pagar, atau memegangi
tangga bila aku memanjat membetulkan bocor. Engkau lebih sering
mendampingiku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang
membantu ibumu memasak di dapur seperti saudarimu yang lain.
Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu
sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab
pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengatahuan dan permainan
untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua pergi memancing atau sekedar
menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat aku
mengajar.
Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga. Engkau
menolak bersekolah di tsanawiyah seperti saudarimu. Diam-diam tanpa
sepengetahuanku engkau telah mendaftar di sebuah SMP negeri. Bukan
kepalang kemarahanku. Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak
mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya
watakmu, bahkan tak setetes airmata jatuh dari kedua matamu yang tajam
menatapku.
Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku
khawatir engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku.
Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti keempat
kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu, Nak…
1993
Tahun
ini engkau menamatkan SMAmu. Engkau tumbuh menjadi gadis cantik,
periang, pemberani, dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang kebun
sampai tukang becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota
Kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah
tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil
Ustadz, putri seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan
Islam… Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih
rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda
beberapa senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali
itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang
tidak baik pada dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka
akulah orang yang paling bertanggung jawab atas kesalahan itu.
Aku
tidak berhasil mendidikmu dengan cara yang Islami. Dalam doa-doa
malamku selalu kebermohon pada Rabbul ‘Izzati agar engkau dipelihara
olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan
makin bertambah takkala diam-diam engkau ikut UMPTN dan lulus di
fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku tak sanggup
membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak laki-laki
dan bukan satupun mahrommu? Dalam silsilah keluarga kita tidak satupun
anak perempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat kakakmu menimba
ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga kita
adalah keluarga guru, anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa
Islam juga butuh arsitek, butuh teknokrat, Islam bukan tentang ibadah
melulu…Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku terima
segala argumen dan pemikiranmu,putriku.. Dan aku akan lebih bisa
menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai
masa kuliahmu.
1995
Tahun ini tidak akan pernah
kulupakan. Akan kucatat baik-baik… Engkau putriku, yang selalu
kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah SWT mendengar dan
mengabulkan pintaku. Ketika engkau pulang dari kuliahmu; subhannalah!
Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu, aku sampai tidak
mengenalimu, putriku. Engkau telah berubah, putriku.. Apa sesungguhnya
yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu
tentang kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela
perkataanku meski tak sekalipun juga engkau indahkan anjuranku. Dua
tahun di bangku kuliah, tiba-tiba engkau mengenakan busana takwa itu?
Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini?
Putriku, setelah sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau
mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur.
1997
Putriku,
kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak asa
tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau
menjadi sangat santun, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat
saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya. Kini, hanya engkau
aku dan ibumu yang mendiami rumah ini. Kurasakan rumah kita seolah-olah
berpendar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu. Gemercik
suara air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi.
Putriku, jika aku pernah merasa bahagia, maka saat paling bahagia yang
pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu
tengah menangis dalam sujud malammu…. Selalu kuyakinkan diriku bahwa
akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku…
1998
Putriku,
kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat
beralasan. Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum
laude. Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu,
diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti
kakak-kakakmu terdahulu? Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa
polesan apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda,
semua itu justru membuatku semakin bangga padamu. Entah darimana engkau
bisa belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku…
Jika hari
ini aku meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah airmata
kekaguman melihat kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yangengkau
pegan teguh. Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu, putriku…
1 Agustus 1999
Putriku,
bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga. Aku teringat
Rasulullah mengakhiri masa dakwahnya didunia pada usia yang sama.
Akhir-akhir
ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung yang kuderita
selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat, saat kudapati jawaban
diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak satu pun dari mereka
bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina selama puluhan tahun.
Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu
para suami mereka. Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik
sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh bersekutu menjauhiku. Jika
aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan kondisi
sangat lemah, putriku. Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku.
Putriku….kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan
padamu. Aku percaya padamu… Jika aku memberikan buku ini padamu, itu
karena aku ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa
dulu aku sering memarahimu..maafkan buya, putriku…
Kini hanya
engkau satu-satunya harapanku… Aku percaya perguruan yang telah
kubangun dengan tanganku sendiri ini padamu. Aku bercita-cita
mengembangkannya menjadi sebuah pesantren. Engkau masih ingat lapangan
tempat kita dulu menaikkan layangan? Itu adalah tanah warisan almarhum
kakekmu.
Di lapangan itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama
tempat para santri bermukim. Engkau seorang arsitek, anakku, tentu
lebih memahami bangunan macam apa yang sesuai untuk kebutuhan sebuah
asrama pesantren… Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk
mengelolanya nanti. Sebab aku yakin, dari tanganmu, dari hatimu yang
jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu sejalan dengan
kebenaran akan terlahir sebuah fauzan’adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah janjikan, yakinlah, putriku…
Dalam
diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia dan
akhirat. Kini kusadari engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim
ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah. Semoga Allah
menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku. Amien Ya Rabbal ‘Alamiin.
12 Agustus 1999
Rabbi,
jika airmata ini bukan tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan
buyaku Engkau panggil, tapi sebab aku belum mengenali buyaku selama
ini, seutuhnya. Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya. Rabbi,
perkenankan aku menjalankan amanah Buya dengan segenap radhi-Mu. hanya
Engkau..ya Mujib… Happy Birthday to Buya I Love you so much
* * *

Kamis, 10 Maret 2011

Cerita Motivasi tentang Kasih sayang seorang Ibu




Cinta seorang ibu / ortu pada anaknya atau sebaliknya.. Inilah kekuatan terbesar yang dimiliki yang bisa menjadi sumber motivasi bagi semua orang.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bahagian nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan suduku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DUA
Sekarang aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak mancis untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di kala musim sejuk tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak mancis. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak penat” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE EMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE LIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mahu, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya ada duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE ENAM
Setelah lulus dari ijazah, aku pun melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku : “Aku tak biasa tinggal negara orang” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada jauh di seberang samudera atlantik terus segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DELAPAN.
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita pasti lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya, kita selalu risau akan kabar pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Risau apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.
cerita ini diambil dari sebuah artikel yang saya lupa judulnya…
Anda punya cerita motivasi anda sendiri? Silahkan ceritakan pada dunia!!
silahkan baca cerita motivasi lainnya di blog ini, selain cerita hikmah, cerita perjalanan sukses. Saya mungkin dalam beberapa hari ke depan sampai tgl 9 April tidak bisa online, karena ada perjalanan usaha ke Pagar Alam, salah satu daerah di Sumatera Selatan.

Pengikut